Judul :
Jalani, Nikmati, Syukuri
Penulis :
Dwi Suwiknyo
Penerbit :
Noktah (DIVA Press Group)
Tahun terbit :
Cetakan pertama, 2018
ISBN :
978-602-50754-5-2
Tebal buku :
259 halaman
Kita memang tidak bisa memilih bagaimana cara kita memulai hidup ini,Quote yang menarik di bab prolog ini membuat saya tak sabar igin membaca isinya.
tetapi kita masih diberi kesempatan untuk memikirkan bagaimana cara kita menikmati hidup ini, dan bagaimana cara kita menyikapi hasilnya. (Hal. 10)
Eye cathing begitulah kesan
pertama saat melihat buku ini. Dominan merah dengan judul huruf timbul berwarna
kuning, sangat menarik perhatian. Tampilan bagian dalam buku dengan warna biru,
hitam, dan abu-abu, didukung dengan jenis font atau huruf berbeda, membuat pembaca
tidak bosan. Gambar komik yang segar dan flip chart ringkasan berbentuk skema yang tersusun rapi memudahkan
pembaca memahami pesan penting yang disampaikan.
Sayangnya saya tidak menemukan
daftar isi pada buku ini. Entah lupa atau memang sengaja tidak dilampirkan.
Sehingga saya kesulitan menemukan halaman sub judul pembahasan dengan cepat dan
harus mencari secara manual. Sempat terlintas di benak, apakah ini adalah model
penulisan buku gaya baru?
Ada Sekitar 53 sub judul
pembahasan dalam buku ini, termasuk prolog pembuka dan epilog penutup. Serunya
lagi, saya bisa membacanya secara acak tanpa harus kehilangan benang merahnya. Saya
mengawali dengan judul Allah Maha Baik di halaman 250, saya dibuat
penasaran untuk menengok judul-judul di halaman sebelum dan sesudahnya. Pesan
berbeda yang tersirat sangat kuat dalam setiap sub judul, membuat saya
ketagihan untuk membaca buku ini lagi, lagi, dan lagi.
Bercermin dari buku ini seperti
melihat kembali beberapa kejadian serupa yang pernah saya alami. Buku ini seolah
menjawab kegundahan terhadap permasalahan yang pernah dan sedang saya alami.
Sesekali saya mengangguk setuju dengan pemaparan dan solusi yang ditawarkan. Tak
berlebihan bila saya lebih suka mengkategorikan buku ini sebagai buku motivasi.
Meski dari pihak penerbit telah mengelompokkan buku ini ke dalam genre religion
and spirituality.
Buku ini kian istimewa karena pada
sub judul Hiduplah Hari Ini (hal. 180) ada puisi berjudul Aku Adalah
Waktu karya penulis (Mas Dwi Suwiknyo). Puisi ini sangat istimewa karena
belum pernah dimuat media mana pun. Dan untuk pertama kalinya dipublikasikan
hanya dalam buku Jalani, Nikmati, Syukuri.
Ulasan pada bab ini menyadarkan kita
bagaimana seharusnya kita pandai menikmati apa yang dijalani hari ini dengan
penuh syukur. Tanpa harus memusingkan masa lalu yang sudah menjadi kenangan
atau merisaukan masa depan.
Masih banyak persoalan lain yang
dibahas dalam buku ini. Pembaca digiring untuk belajar menerima (hal.
24), belajar melepaskan (hal. 38), dan belajar bahagia (hal.
50). Saya semakin termotivasi untuk bersyukur apapun keadaannya saat membaca
halaman 78, kaya belum tentu enak.
Apakah kita sudah bahagia? Kenali
tandanya. Anda akan menemukannya di halaman 51, bab berjudul 7 Tanda
Kebahagiaan. Tujuh tanda tersebut
adalah jawaban dari Ibnu Abbas --sahabat sekaligus orang yang gemar melayani
Rasulullah-- ketika ditanya perihal kebahagiaan oleh para Tabi’in.
Hidup akan berjalan lancar dan
mudah bila sesuai dengan keinginan kita. Nyatanya, orang-orang di sekitar kita
tidak memiliki frekuensi yang sama, sehingga mempengaruhi kondisi yang kita
hadapi. Rumus 9 Barangkali di halaman 138 adalah rumus sederhana yang
efektif digunakan untik mengubah pola pikir negatif menjadi berpikir positif.
Rumus ini juga bagian penting dari teknik memaklumi orang lain, sehingga kita
bisa berfikir positif kepada orang lain.
Saya betah berlama-lama membaca
sub judul ketika salah menjadi sumber tawa (hal. 213). Bab ini tuh, saya
banget. Ingatan saya kembali pada kejadian dua tahun yang lalu. Saat itu saya sedang
membeli martabak. Setelah megantri cukup lama martabak pesanan saya akhirnya
siap. Hal memalukan terjadi saat akan membayar. Dengan bangga saya keluarkan
selembar uang lima puluh ribu, kemudian diam menunggu. Bukannya langsung
memberi uang kembalian, eh penjual martabak juga ikut menunggu.
“Kembaliannya, Pak?” saya mulai
tak sabar.
“Loh, bukannya ini masih kurang 15
ribu lagi?” penjual martabak kalem.
“Dihitung lagi dong, Pak! saya
mulai ngotot.
“Bener, Bu. Kurang 15 ribu.”
Orang-orang mulai melihat saya
dengan tatapan sinis. Saya balas tatapan mereka dengan pandangan jutek.
“Ibu nggak punya uang lagi, ya?
Biar saya saja yang bayarin sisanya,” seorang pemuda yang mengantri menawarkan
diri dengan sopan.
Bagai
tersengat tawon, saya buru-buru mengeluarkan uang lima puluh ribu yang kedua.
“Saya bisa bayar sendiri,” saya pun berlalu meninggalkan rombong martabak
pinggir
jalan yang dipadati pembeli.
“Bu... ini uangnya,” penjual
martabak menghampiri saya yang sudah bersiap di atas motor.
Waktu itu saya mengira penjual
martabak itu menyadari kesalahannya saat menghitung total belanja saya.
“Makanya lain kali dihitung dulu
yang bener, Pak!” celetuk saya ketus kemudian menancap gas sepeda motor
sekerasnya. Berlalu dengan dongkol.
Sesampainya di rumah, saya
terkejut. Loh, kok, uang yang dikembalikan tiga puluh lima ribu. Harusnya kan,
tetap lima puluh lima ribu.
Duh, saya kok, masih ngotot aja. Saya ambil kalkulator dan mulai menghitung martabak yang saya beli.
Duh, saya kok, masih ngotot aja. Saya ambil kalkulator dan mulai menghitung martabak yang saya beli.
Astagfirullah... ternyata saya
yang salah. Kaget luar biasa membuat saya merasa sedih, sesak, dan gundah. Betapa
angkuhnya saya, harga diri ini serasa runtuh. Mendadak saya tak ingin keluar
rumah, tajut bila bersua dengan pedagang martabak itu.
Takut bila berjumpa pemuda yang menawarkan diri mentraktir sisa kekurangan
uang. Dan kawatir bila salah seorang di antara para pengantri tersebut melihat
saya, kemudian mengolok kebodohan saya.
Untungnya itu hanya ilusi bentuk
dari kekawatiran saya saja. Terkadang kita terlalu berlebihan saat mengalami
sesuatu. Mungkin saat itu orang-orang di sana menertawakan kelalaian saya dan
membela pedagang martabak yang sabar. Tapi setelah itu, mereka akan
melupakannya, karena banyak hal penting lainnya yang harus mereka hadapi.
Seperti yang dituturkan pada halaman 94, kesengsaraan itu hanya ilusi.
Hidup memang harus terus berlanjut. Tak peduli
seberapa menyakitkannya itu. Biarlah nanti waktu yang mengobatinya.
Betul
seperti yang dikatakan penulis pada halaman 215, semua kesalahan pada
akhirnya hanya bisa kita istigfari dan butuh keberanian untuk menertawakannya.
Penulis memotivasi dengan tulisan yang berbunyi janganlah terlampau bersedih
pada kesalahan yang memang tidak kita sengaja (khilaf). Itu bukanlah aib yang
menurukan harga diri kita. Sebab, kita tidak berniat untuk melakukan satu
kesalahan itu. Saya butuh waktu lama untuk bisa menerima kenyataan dan
memaafkan diri sendiri.
Pas banget dengan pembahasan di
bab selanjutnya Jangan Gampang Baper (hal.217). saya menemukan kalimat
ini, ...Terkadang, kita memang perlu menetawakan kekurangan diri sendiri,
dan terbuka dengan segala kemungkinan terburuk... (hal.218).
Dipaparkan dengan bahasa sederhana
yang mudah dimengerti, bahkan terkesan santai. Disertai dengan contoh kejadian
dan peristiwa yang bisa kita petik hikmahnya membuat buku ini kaya pengalaman
sekaligus solusi jitu yang dapat dilakukan agar hidup yang selalu penuh masalah
ini tetap bisa dinikmati dengan rasa syukur yang dalam.
Membaca buku ini akan membuat kita
lebih waspada untuk tidak mengulangi kesalahan yang pernah dialami orang lain.
Karena di dalam buku ini ada solusi dan jawaban langsung untuk setiap
permasalahan yang berbeda.
Jangan tunda kebahagiaan, karena
bahagia itu sederhana, jalani, nikmati dan syukuri. Bagilah kebahagiaan dengan
orang-orang tersayang di sekitar kita. Caranya bisa dengan menghadiahkan buku
ini kepada mereka. Biar afdol, Anda harus membaca buku ini terlebih dahulu, ya!
Akhirnya, selamat membaca dan bersiaplah bahagia.
Rasa bahagia pun bisa datang dari penerimaan yang tulus. Penerimaan yang tulus atas apa pun yang terjadi dan bagaimanapun kondisi hidup kita. Penerimaan yang tulus apa saja yang sudah kita lewati, dan bersiap menerima apa pun yang akan terjadi pada diri kita (Hal. 255).
Resensi buku ini diikut sertakan dalam Lomba Blog Review Buku Jalani, Nikmati, Syukuri
karya Mas Dwi Suwiknyo.