Kota tepian Mahakam, itulah sebutan ibu kota
provinsi Kalimantan Timur, Samarinda. Aku sangat bangga bila diminta
memperkenalkan diri, terlebih ketika menyebutkan nama kota kelahiranku itu. Samarinda
sangat istimewa di hatiku.
Keberadaan Sungai Mahakam sepanjang 920Km yang
membelah kota, bagaikan magnet yang menjadikan Samarinda kian istimewa. Sungai
terpanjang kedua di Indonesia itu menjadi habitat pesut si lumba-lumba air
tawar.
Kepercayaan masyarakat pun berkembang, siapa pun
yang meminum air Sungai Mahakam diyakini akan kembali lagi ke kota itu. Sungai
menjadi sumber kehidupan dan peradaban manusia.
Namun sayangnya pembangunan kota yang terus
meningkat, tidak dibarengi dengan pengelolaan drainase yang baik. Hal ini
menyebankan ketika musim hujan tiba potensi terjadinya banjir menjadi
permasalahan serius. Gorong-gorong yang dibangun tidak berfungsi dengan baik,
hanya sebagai pelengkap saja.
Parahnya lagi, daerah resapan air yang tidak
dikelola dengan baik, bahkan beralih fungsi menjadi kompleks perumahan rakyat. Drainase
atau sistem saluran untuk menglirkan aliran permukaan akibat hujan tidak lagi
berfungsi maksimal.
Profil Samarinda
Secara geografis, Samarinda yang terletak di 00019’02”
- 00042’34” lintang selatan, dan 117003’00” - 117018’14”
bujur timur. Dengan batas wilayah meliputi, sebelah utara berbatasan dengan
Kecamatan Muara Badak Kabupaten Kutai Kartanegara. Sebelah timur Kecamatan
Muara Badak, Anggana, dan Sanga-sanga Kabupaten Kutai Kartanegara. Sebelah
selatan berbatasan dengan Kecamatan Loa Janan Kabupaten Kutai Kartanegara, dan
Kecamatan Muara Badak, Tenggarong Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara di
sebelah barat.
Luas kota Samarinda adalah 718,800Km2,
yang terbagi menjadi 10 kecamatan, yaitu kecamatan Palaran, Loa Janan Ilir,
Samarinda Ulu, Samarinda Ilir, Samarinda Kota, Samarinda Utara, Sungai Kunjang,
Samarinda Seberang, Sambutan, dan Sungai Pinang. Dengan jumlah penduduk menurut
badan pusat statistik kota Samarinda tahun 2011 tercatat sebanyak 755.630 jiwa.
Pembangunan Jalan
Berdasarkan kelas, Kota Samarinda memiliki jalan nasional sepanjang
70.62 km, dan jalan kota sepanjang 570.60 km. Sejak dilakukan perbaikan pada tahun
2009, panjang jalan rusak di Kota Samarinda menurun menjadi 9.9 km. Pemerintah
setempat menduga penyebab kerusakan jalan salah satunya disebabkan oleh curah
hujan yang tinggi, sehingga jalan kota sering mengalami pengikisan oleh air.
Padahal, kesalahan terjadi ketika pembangunan jalan
tidak diimbangi dengan drainase perkotaan yang sesuai. Drainase perkotaan
merupakan kumpulan sistem jaringan saluran drainase, situ dan sumur resapan
yang berada sepenuhnya di dalam batas-batas administrasi pemerintahan kota atau
di dalam batas ibu kota pemerintahan kabupaten.
Sistem drainase perkotaan merupakan prasarana yang
terdiri dari kumpulan sistem saluran di dalam kota yang berfungsi mengeringkan
lahan perkotaan dari banjir atau genangan akibat hujan dengan cara mengalirkan
kelebihan air permukaan ke badan air melalui saluran-saluran tersebut.
Sebagai contoh, lihat saja pembangunan jalan di
kawasan Loa Bakung yang tidak disertai dengan drainase, ketika hujan menyebabkan
banyak genangan air terhambat di sisi jalan. Air yang meluber hingga ke badan
jalan, bila dibiarkan terus dapat mengikis tanah dan merusak kualitas jalan
yang baru saja diperbaiki.
Drainase perkotaan sangat penting karena berfungsi
mengeringkan bagian wilayah kota yang permukaan lahannya rendah dari genangan
air, mengalirkan kelebihan air permukaan ke badan air terdekat secepatnya,
mengendalikan air permukaan akibat hujan, dan meresapkannya untuk kelestarian
air tanah.
Tugas Bersama
Banjir dan seluruh permasalahannya terkait dengan
pemerintah dan masyarakat, oleh sebab itu penanganannya harus dilakukan
bersama.
Harus diakui, sampai saat ini belum ada ketegasan
fungsi saluran drainase, untuk
mengalirkan kelebihan air permukaan atau air hujan, dan saluran air limbah
pemukiman. Ditambah lagi pengelolaan
sampah yang kurang baik, menyebabkan
masih banyak sampah yang dibuang ke
saluran air.
Pemerintah kota harus melakukan penanganan drainase
yang dirumuskan dalam peraturan daerah, dan mengatur kejelasan keterlibatan
masyarakat dan swatsa, sehingga mereka dapat berperan aktif sesuai porsinya.
Rasanya belum
terlambat untuk menata ulang saluran drainase di wilayah perkotaan, menciptakan
daerah resapan air yang baru di beberapa titik, dan yang terpenting
adalah merawat dan memeliharanya bersama.
Dengan drainase kota yang baik kelak, tak akan ada
lagi genangan air permukaan dan banjir. Pesona kota Samarinda yang termasyur
dengan kerajinan khas sarung tenun Samarinda, akan terpancar menarik perhatian
wisatawan domestik, bahkan juga wisatawan mancanegara untuk datang berkunjung
menikmati eksotik kota Tepian Mahakam.[]
***
Tulisan ini kemudian dimuat di Harian Samarinda Pos, pada Minggu, 12 Mei 2013. Berikut tampilannya,
andai tulisan ini bisa masuk ke proyeknya @isamarinda yang berjudul #SamarindaUnderAttack
BalasHapus*http://blogrian.wordpress.com*
Saya juga berharap begitu, Mas Ryan. Naskah sudah saya serahkan meski mepet dateline. Makasih telah berkunjung,
HapusSalam Pak Dragon Halim
BalasHapusemail saya, rahmawati.dwi@gmail.com
Memang sepertinya kota samarinda tidak diurus dengan serius, drainasenya buruk, sedimentasinya tinggi, hampir semua parit kondisinya sempit dan ditutup dengan cor semen dan papan ulin. ijin tambang di berikan dengan mudah, meninggalkan lubang menganga di sekeliling samarinda. kalau musim kemarau, panas, kering dan berdebu, jika musim hujan, banjir dimana-mana. orang yang tidak ikut merusak lingkungan pun harus menanggung akibat luapan banjir.... hmmmm.
BalasHapusMasukan yang bagus, Mas Bro, makasih sudah berkunjung.
HapusSemoga pejabat negara pengambil kebijakan bisa lebih arif mengelola Samarinda dengan melibatkan masyarakatnya, dan tidak sembarangan memberikan ijin eksploitasi lahan lagi.
selamat Mak....semoga sukses berkarya
BalasHapusMakasih kunjungannya, Mak cantik.
HapusSukses untuk kita semua
Bagus tulisannya dir. Lebih bagus lagi kalo bisa kasi rekomendasi teknis :-)
BalasHapus