Memberi hadiah untuk sahabat adalah hal yang biasa buatku.
Tapi memberi hadiah untuk seseorang, apalagi itu lawan jenis, rasanya hal yang
tabu. Meski demikian aku pernah juga melakukannya. Anggaplah sebagai ungkapan terima kasih, karena selama bekerja
aku selalu merepotkannya. Begitulah aku mencari pembenaran.
Dia (lelaki yang akan ku beri kado terindah itu) punya surat ijin mengemudi di areal perusahaan, sedang
aku tidak. Untuk memudahkan mobilisasi pekerjaan yang sering menuntutku harus
keliling areal kerja, aku sering meminta tolong dia untuk mengantarkanku.
Sebelumnya, pernah suatu hari aku lulus tes mengemudi dan mendapat ijin
mengemudi di areal perusahaan tambang yang berlokasi di tengah hutan
Kalimantan. Tak berapa lama, aku mendapat musibah yang sangat memalukan, yaitu
menabrak tiang listrik saat hendak parkir. Kejadian na'as tanpa korban jiwa itu membuat
ijin mengemudiku dicabut. Sedih sih, tapi dia juga yang berhasil menghiburku.
Itulah alasan kuat hingga aku akhirnya berani memberi ‘sesuatu’
untuk lelaki teman kerjaku. Bukan teman kerja sih, lebih tepatnya teman satu
ruang kantor. Meski kami bekerja untuk perusahaan yang sama, namun kami beda
divisi.
Aku sangat tergila-gila dengan cokelat. Bagiku cokelat itu spesial.
Dan itu pula yang kuhadiahkan padanya. Saat cuti kerja di akhir tahun, aku
meluangkan waktu khusus untuk membelinya di sebuah pusat perbelanjaan di kotaku. Setelah memilih dan memilah, beberapa
batang cokelat spesial segera kubayar dan mengemasnya dengan cantik.
Pekerjaan selanjutnya adalah mengirimkannya sesegera
mungkin. Kubayangkan ia menerima kejutan tahun baru, ah jadi nggak sabar ingin
memberikannya. Untungnya tak sulit menemukan jasa pengiriman yang bisa
mengantarkan barang dengan aman dan cepat. JNE langsung terlintas di benakku.
Meski
mengirim paket antar kota dalam provinsi, aku tetap mengutamakan kecepatan
pengiriman dan keamanannya. Semua terjawab oleh JNE, perusahaan jasa pengiriman
nomor satu di Indonesia yang telah memiliki ISO 9001:2000 untuk jasa
layanannya.
Suatu pagi di awal tahun yang baru, sebuah surat elektronik
masuk ke emailku. Membacanya membuat hatiku berbunga-bunga. Lelaki yang masih
berada di lokasi kerja itu berkata dalam emailnya, bahwa hadiah yang kukirimkan
itu adalah kado terindah yang pernah ia terima dalam hidupnya. Agak berlebihan
sih, tapi aku tersanjung membacanya.
Setelah masa cutiku habis, aku kembali ke lokasi kerja.
Bergegas ke kantor ingin melihat reaksinya. Senyum manisnya mengembang menyambutku.
Semanis cokelat yang kuberikan padanya.
“Gimana cokelatnya, enak?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Eh, ng... enak. Makasih, ya,” jawabnya gelagapan membuatku curiga.
“Oiya, sesuai jadwal kerja, pagi ini giliranku yang cuti selama seminggu. Aku
mau ngasih ini ke kamu,” sebuah bungkusan diserahkan padaku.
“Terima kasih. Selamat bersenang-senang,” jawabku senang sekaligus sedih karena
harus berpisah dengannya.
Pekerjaan yang padat membuatku hampir lupa membuka bungkusan
kecil darinya. Aha... senangnya mendapat sebatang cokelat spesial. Nggak
nyangka juga kebaikan memberi cokelat bisa terbayar dengan hadiah cokelat
serupa. Segera kusantap hingga ludes. Eh... tapi, dari mana dia bisa dapat
cokelat ini, pikirku.
Segera kuperiksa kemasan cokelat yang sudah kubuang di
tempat sampah. Bukankah ini cokelat yang kuberikan padanya beberapa hari yang
lalu. Loh, kadoku, kok kembali, sih. Aku kian meradang. Sebuah email segera
kulayangkan padanya. Jawaban otomatis emailnya yang menyatakan dia sedang cuti dan akan
kembali sepekan lagi membuatku kian kecewa.
Aku baru mendapat jawaban pasti setelah dia kembali ke
lokasi kerja. Rupanya dia tak suka cokelat. Pantas saja. Dia pun meminta maaf,
namun menyatakan sangat bahagian dengan perhatiaku atas hadiah itu. Beberapa
batang cokelat lainnya pun diberikan padaku sambil menyerahkan sebuah novel
terbaru sebagai ungkapan permintaan maafnya.
“Loh, kok kamu tahu
aku suka novel ini?” aku mengamati buku yang baru saja diserahkannya.
“Ya, iyalah. Sebelum aku pergi, kan kamu menuliskan judulnya dalam post it dan
memintaku mencarikannya,” jawabnya polos.
"Oiya," aku terkekeh malu.
Malamnya aku melahab isi buku yang baru saja kuterima
bersama beberapa batang cokelat. Aku sudah memaafkan sikapnya yang
mengembalikan kadoku. Dan kejadian itu justru membuat pertemanan kami kian akrab.
Pelajaran berharga, lain kali kalau mau ngasih kado sebaiknya perhatikan dulu
apa yang kira-kira dia perlukan. Mungkin lebih baik lagi bila menanyakan
langsung padanya. Asal dia jangan minta dibelikan rumah atau mobil aja kali,
ya? Bisa tekor dong, hehehe...