Perjalanan mengesankan yang
selalu kukenang dalam hidup adalah saat berkesempatan menjelajah Pulau Sangalaki
yang dijuluki sebagai surga dunia bagi para penyelam. Pulau yang termasyur dikalangan penyelam dari mancanegara ini berada dalam Kepulauan Derawan Kabupaten
Berau, Provinsi Kalimantan Timur.
Sebuah pulau tak berpenduduk
dengan hamparan pasir putih yang tersusun dari material fragmen karang, tampak
kontras dengan warna airnya yang biru. Menyuguhkan pemandangan yang
menyejukkan, seakan membayar lelah saat menempuh perjalanan panjang.
Pulau dengan luas sekitar 15
hektar ini memiliki morfologi dataran pantai yang datar. Dan merupakan tempat
yang sering dikunjungi penyu hijau untuk menitipkan telur-telurnya pada
timbunan pasir di sepanjang pantai. Seekor penyu betina mampu bertelur hingga
100 butir dalam sekali bertelur.
Pulau ini sering dikunjungi
oleh wisatawan asing yaitu dari negara Filifina, Brunei Darussalam dan
wisatawan Amerika yang sebagian besar adalah penyelam. Menurut mereka,
Sangalaki adalah surga dunia bagi para penyelam. Karena memiliki taman laut dan
beragam biota laut yang mewakili berbagai ragam jenis karang yang ada di dunia.
Ikan Pari atau Manta adalah
jenis ikan yang banyak ditemukan di perairan pulau tersebut. Pada saat bulan
terang, Manta dapat berkumpul hingga berjumlah 20 ekor untuk mencari makan
berupa plankton yang banyak terdapat di perairan ini. Selain itu, pulau tersebut
memiliki hutan dengan pepohonan khas tropis dan dihuni oleh satwa burung.
Seakan melengkapi replika wilayah tropis yang indah.
Faktor topografi dan
terbatasnya travel yang melayani rute perjalanan menuju pulau tersebut membuat
tempat wisata tersebut kurang populer di kalangan wisatawan domestik. Apalagi
pengelolaannya yang dipegng oleh pihak asing, membuat biaya yang dibutuhkan ke
pulau tersebut menjadi kian mahal dan nyaris tak terjangkau.
***
Butuh perjuangan keras agar aku dapat menikmati indahnya
Pulau Sangalaki bersama puluhan wisatawan mancanegara yang tengah menghabiskan
waktu libur mereka di sana. Aku yang kala itu seorang mahasiswi, berhasil
memenangkan audisi sebagai tenaga sukarela untuk membantu sepasang suami-istri
berkebangsaan Belanda yang tengah melakukan penelitian tentang Penyu Hijau.
Setelah melewati penyaringan yang cukup ketat oleh sebuah
lembaga sosial masyarakat di Samarinda yang bergerak di bidang pelestarian
lingkungan, akhirnya aku terpilih sebagai salah satu kandidat bersama dua orang
mahasiswa yang lainnya.
Bermodal
ransel besar di bahu bersama dua rekan lainnya, kami melangkah dengan gagahnya
memulai perjalanan dengan pesawat DAS yang menghubungkan kota-kabupaten dalam provinsi
dari Bandara Temindung Samarinda menuju Kabupaten Berau. Ini adalah perjalanan
kesekian kaliku bersama ransel buntut yang tetap gagah bertengger di bahu.
Meski
bepergian dengan ransel besar bagai petualang, pakaian yang tersimpan di
dalamnya tetap rapi. Aku menggulung pakaian yang sudah disetrika sedemikian
rupa sehingga menjadi gulungan kecil. Sebelum memasukkan pakaian, lapisi dahulu
ransel dengan kantong plastik besar, hal ini dimaksudkan apabila ransel terkena
air pakaian di dalamnya tetap kering.
Aku
benar-benar mempersiapkan perjalananku kali ini. Memastikan membawa peralatan
tulis, perlengkapan mandi, pakaian secukupnya yang bisa di padu-padankan,
perlengkapan mandi, obat-obatan secukupnya, dan album kartu nama serta buku daftar
alamat dan nomor telepon teman-teman kampus yang berasal dari kabupaten
tersebut. Berharap jika sesuatu terjadi, aku bisa minta bantuan teman-teman di
sana.
***
Aku
sangat menikmati perjalanan menuju sebuah tempat yang baru bagiku. Semua tiket
dan akomodasi telah dipersiapkan sedemikian rupa oleh pihak seponsor, sehingga
aku dan dua temanku tak perlu repot. Kami menginap di sebuah motel sederhana,
kemudian dijemput untuk berkeliling kota kabupaten sebelum melanjutkan
perjalanan esok harinya dengan speedboad.
Perasaan
tak nyaman mulai menyergapku kala perjalanan laut akan segera di mulai. Sebuah speedboad
atau perahu bermotor dengan kecepatan tinggi membelah laut biru dengan
angin dan ombaknya yang membuatku mual, membawa kami menuju pulau impian.
Bulir-bulir air mata diam-diam membasahi sudut mataku, saat aku menahan tubuhku
yang ikut terhempas ketika speedboad kami melawan ombak.
Ketika
mesin parahu mulai terdengar pelan hingga akhirnya mati, aku baru berani
membuka mataku. Luar biasa, beningnya air laut yang berwarna biru hingga mampu
menembus indahnya karang di dalamnya seakan membayar segala keletihanku
dihempas ombak. Pasirnya yang putih berkilau berpadu hijau hutan dibelakangnya
dan langit biru cerah adalah pemandangan terindah yang pernah kusaksikan dalam
hidupku.
Tak
ada dermaga. Speedboad hanya berhenti di pantai dangkal. Tak sabar
kuceburkan kakiku untuk merasakan airnya yang dingin dan menapaki butiran
pasirnya. Aku mencium aroma laut yang kuat, begitu segar seakan memulihkan
staminaku yang rontok.
Dan
petualangan pun dimulai. Setelah bertemu dan berkenalan dengan sepasang
peneliti penyu, kami pun diperkenalkan pada seluk beluk penyu yang akan kami
tangani selama berada di pulau itu. Setelah makan dan merapikan barang bawaan,
kami berlima mengelilingi pulau dengan sejuta pesona itu hingga matahari
terbenam. Menyaksikan pemandangan indah di pulau kecil yang dikelilingi laut
lepas membuatku tak henti-hentinya bersyukur.
Malam
tiba, kami hanya mengunakan penerangan secukupnya di kamar akomodasi yang
berupa rumah kecil yang dilengkapi dengan kamar mandi dan satu kamar dengan dua
tempat tidur yang nyaman. Karena kami hanya diberi satu rumah sedangkan dua
rekanku adalah laki-laki, maka kami pun berbagi tempat. Mereka sangat
menghormatiku.
Tidak
ada lampu teras yang menyala, hanya sinar rembulan berpadu dengan deburan ombak
dan dinginnya angin membuat malam kian syahdu. Dan kami tak lantas bisa
terlelap pulas. Karena pada malah hari banyak induk penyu mengunjungi pulau
untuk bertelur, dan aku sebentar lagi akan menyaksikan pemandangan menakjubkan
itu langsung.
Penyu
adalah binatang pemalu yang sangat peka terhadap cahaya, oleh sebab itu
pengelola pulau sangat membatasi penggunaan lampu. Hal ini dimaksudkan agar
penyu-penyu betina dapat dengan leluasa bertelur. Selain itu, cahaya bagi anak
penyu atau tukik digunakan sebagai pemandu jalan menuju laut. Tukik yang
menetas di malam hari akan menggunakan bantuan cahaya rembulan untuk mengantar
mereka ke pantai dan mengarungi laut lepas.
Seringkali
tukik-tukik tersebut justru berlari ke arah rumaah akomodasi yang disediakan
pengelola karena adanya sinar lampu. Mereka mengira lampu-lampu tersebut adalah
cahaya rembulan yang mengantar mereka ke laut.
Malam
kian larut, angin dingin dan deru ombak membuat perjalanan kami mengelilingi
pulau untuk memantau penyu yang berelur kian mendebarkan. Karena banyak penyu
yang hanya mebuat jalan palsu atau tidak jadi bertelur dan kembali ke laut.
Hingga kami menemukan seekor penyu yang benar-benar akan bertelur.
Nafasnya
terengah menyeret tubuhnya yang besar dan berat. Sesekali ia berhenti, kemudian
melanjutkan jalannya menuju sebuah tempat yang lebih tinggi. Kami bersembunyi
menyaksikannya, berharap ia tak mengetahui kehadiran kami agar dapat
melanjutkan aktifitasnya. Penyu itu berputar sebentar kemudian menggali lubang
yang cukup dalam dengan kedua kaki bagian belakang. Kemudian ia meletakkan
ekornya diatas lubang itu dan keluarlah butiran telur yang cukup banyak.
Ada
banyak lendir diantara telur-telur yang berkulit lunak namun tak mudah koyak.
Setelah puluhan telur keluar, kami pun dapat mendekati penyu tersebut dan
mengukur cangkangnnya dengan leluasa. Penyu tak akan lari bila sedang bertelur
meskipun manusia memegangnya. Ia akan terus melanjutkan aktifitasnya
mengeluarkan telur-telur tersebut.
Dari
sepasang matanya keluar cairan bening. Apakah ia menangis? Ternyata tidak.
Cairan itu berfungsi menetralkan air laut yang mengandung garam untuk
melindungi mata sehingga pandangannya tetap terjaga. Setelah mengeluarkan semua
telurnya, sang induk penyu menutup lubang yang berisi telur masih dengan kedua
kaki bagian belakang. Kemudian pergi meninggalkan pantai, terseok dengan keempat
kakinya yang menyerupai sirip dan hilang di kegelapan malam bersama gelombang.
Kami
pun memasang tanda pada lubang berisi telur, agar esok hari dapat
memindahkannya ke penakaran penyu. Karena telur penyu yang terkena air laut
tidak dapat menetas, oleh sebab itu pemindahan ini sangat penting untuk
menghidari telur terendam air bila laut pasang. Ketika memindahkannya pun harus
sangat hati-hati, karena apabila telur mendapat goncangan keras ia tidak dapat
menetas menjadi tukik.
Malam
terasa kian mencekam setelah kelompok kami kepergok dua orang lelaki yang
menggunakan penutup wajah yang hendak menggali sarang telur penyu yang baru
saja kami tandai. Karena jumlah kami yang cukup banyak, mereka pun memilih
kabur dengan sebuah ember kosong yang dijinjing salah seorang diantaranya.
Mengertilah
aku mengapa sepasang peneliti tersebut memerlukan bantuan tenaga sukarela,
rupanya usaha mereka untuk melindungi satwa langka yang umurnya bisa mencapai
ratusan tahun itu terkendala oleh masyarakat setempat yang masih memburu
telurnya untuk di jual bebas. Telur penyu menjadi oleh-oleh khas dan dianggap
sebagai obat kuat.
Sebelumnya,
sering kali kedua pasangan suami istri ini mendapat pukulan dan teror dari
orang-orang bertopeng itu agar mereka tak betah dan segera meninggalkan pulau
dengan sejuta pesona. Sehingga mereka dapat dengan leluasa mengambil
telur-telur penyu yang harganya lumayan mahal. Namun kedua peneliti tersebut
tetap bertahan dan saling menguatkan, meski lebam kebiruan mewarnai wajah
mereka.
Aku
bangga sekali bisa menjadi bagian mereka yang peduli dengan lingkungan dan
satwa laut ini. Aku bersama kedua rekanku menjadi saksi atas perjuangan mereka
mengumpulkan telur-telur penyu, menjaga dan merawatnya hingga menetas menjadi
tukik dan melepasnya ke pantai, ditelan ombak dan laut biru.
Tukik-tukik
yang hidup dalam samudra biru yang penuh misteri hingga tumbuh menjadi penyu
dewasa, dan suatu hari nanti akan kembali lagi ke pantai tempat mereka di
tetaskan untuk bertelur.
Perjalanan
dan petualangan mulia ini membuatku sadar akan pentingnya pelestarian alam,
terutama pada satwa langka sepeti penyu yang menjadi kekayaan negara yang harus
dipertahankan. Aku terharu, wisatawan asing yang berasal jauh dari Benua Eropa
sana justru memiliki perhatian dan kecintaan penuh terhadap satwa di tanah air
tercinta ini. Sebuah pelajaran mahal yang harus kita perhatikan.
***
* Pengalaman pribadi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar