Rabu, 17 Desember 2014

Asiknya Melipat Origami



Judul            : 5 Menit Asik Melipat Origami
Penulis         : Dwi Rahmawati
Penerbit        : Dunia Anak
ISBN (13)      : 978-602-7991-73-6
Harga           : Rp.29.500



Sinopsis

Seni melipat kertas asal Negara Jepang atau sering disebut origami ini memang sudah mendunia. Keunikan hasil dari setiap teknik lipatan origami selalu mengundang decak kagum semua orang yang melihatnya. Bukan itu saja, para pakar dan ahli psikologi telah mempelajari dan meyakini bahwa teknik keterampilan pembuatan origami sangat bagus untuk melatih kemampuan kecerdasan otak kanan semua orang.

            Buku 5 Menit Asik Melipat Origami menghadirkan teknik praktis dan cepat membuat beraneka kreasi origami original yang mudak diikuti oleh setiap orang dengan segala jenjang usia. Bahkan 5 Menit Asik Melipat Origami ini sangat bagus diperkenalkan pada anak sejak usia dini sebagai stimulan yang akan merangsang dan melatih ketelitian, kesabaran, daya ingat, dan kecerdasan anak.

            Buku ini berisi 19 kreasi origami. Dilengkapi dengan langkah-langkah pembuatan dalam bentuk foto berwarna untuk memudahkan pembaca. Beberapa kreasi tersebut diantaranya, adalah;

Crane
Anjing
 
Nesting Crane
 

Kucing
Kupu-kupu
Ingin mencoba membuat kreasi origami di atas?
Yuk, kita mulai. 







Kamis, 04 Desember 2014

Pesut yang Tersesat

Cerita saya dimuat di Majalah Bobo, Edisi 35 yang terbit pada 4 Desember 2014.
Naskah saya kirim melalui email: naskahbobo@gramedia-majalah.com pada tanggal 9 Juli 2014.
Informasi pemuatan naskah, saya terima melalui email jawaban yang dikirim pada tanggal 25 November 2014.
Pihak redaksi Bobo meminta data pribadi berupa no rekening dan seterusnya untuk membayar honor menulis.
Seru kan. Udah gitu, saya dapat majalah sebagai bukti terbit juga.
Asiiik, Alhamdulillah.

Oiya, naskah ini sebelumnya pernah ditolak, lho. Baca di sini.
Dan ini dia ceritanya...
Selamat membaca!


Pesut Yang Tersesat
Dwi Rahmawati


Pagi itu begitu gaduh. Bunyi kentongan bertalu, memanggil warga untuk berkumpul. Gardu di pinggir sungai Mahakam tempat sumber suara berasal, sekejap dipadati warga.
Sungai Mahakam sepanjang 920 Km menjadi sumber kehidupan warga. Meski airnya berwarna kecokelatan, Mahakam menjadi sumber air minum, peternakan ikan, dan sarana transportasi.
Abah Usup sesepuh kampung sudah berada di sana. Ia tampak bingung dan berjalan mondar-mandir. Sesekali berhenti dan mengusap kepala Aslan, Isal, dan Eza yang basah kuyup.
“Terima kasih atas kedatangan Bapak dan Ibu sekalian,” kata Pak Salim sambil meletakkan kentongan.
“Ada apa ini, Pak?” tanya seorang Ibu tak sabar.
“Seekor anak pesut tersangkut jaring. Anak-anak ini yang menemukannya,” kata Pak Salim. Sesama warga saling berbisik hingga suara menjadi gaduh.
“Pesut itu masih berada di jaring keramba Pak Abu. Sepertinya keramba Bapak mengalami kerusakan,” kata Pak Salim menatap Pak Abu.
Pak Abu tersenyum tipis, ”Keramba itu sudah kosong. Terlalu banyak sampah menyusup ke dalam, membuat ikan-ikan tidak betah.”
“Kalau begitu ayo, cepat kita tolong pesut itu. Nanti kita bantu Pak Abu memperbaiki kerambanya!” Usul Pak Samat sambil melepas kaosnya.
Warga pun turun ke sungai, dengan cekatan mereka mengangkat jaring. Benar saja, ada banyak sampah plastik yang menepel di jaring. Ada bungkus mi instan, plastik kemasan minyak goreng, deterjen, gelas dan botol air minum kemasan yang mengotori sungai.
Sebagian warga memegangi anak pesut yang tampak panik. Ekor lumba-lumba air tawar itu rupanya tersangkut di jaring. Sedangkan kepalanya diselubungi kantong plastik warna hitam ukuran besar. Warga segera melepaskannya, pesut itu pun melesat ke tengah sungai. Kepala mucul beberapa kali sebelum akhirnya menghilang.
“Pantas saja ia tersesat hingga ke pinggiran sungai. Rupanya sampah-sampah plastik mengaburkan penglihatannya,” Abah usup menyeka wajahnya yang basah.
“Wow, ini pertama kali aku malihat pesut,” bisik Aslan pada kedua sahabatnya.
“Ya, aku juga. Sayangnya dia kemari karena tersesat. Sampah-sampah plastik itu hampir saja membuatnya mati terjebak jaring,” jawab Isal.
“Kata Ayahku, di Indonesia pesut adalah mamalia air tawar yang hanya ada di sungai Mahakam ini. Sekarang keberadaanya terancam punah,” sambung Eza.
“Harusnya kita bisa menjaganya agar bisa hidup sehat tanpa terganggu sampah. Supaya jumlahnya terus bertambah,” jawab Isal.
“Kalau begitu, ayo kita kumpulkan sampah plastik ini!” ajak Aslan.
Ketiga bocah itu mengumpulkan sampah plastik yang betebaran di sungai. Para warga yang membantu Pak Abu memperbaiki keramba mengerutkan dahi melihat aksi mereka.
“Sudah, biarkan saja sampah-sampah itu hanyut ke hilir sungai. Nanti juga hilang sendiri,” celetuk Pak Samat.
“Setahu saya plastik tidak dapat hancur oleh air, Pak. Sampah-sampah ini harus dipindahkan ke tempat lain,” jawab Aslan.
“Iya, Nak. Selain mengganggu, sampah plastik ini bisa membuat sungai kita dangkal,” imbuh Pak Abu.
“Kalau sungai dangkal, berarti tak mampu menampung air hujan atau air pasang. Pantas saja akhir-akhir ini air sungai sering meluap hingga ke rumah,” kata Pak Salim.
“Bapak-bapak, bagaimana kalau setelah ini kita kumpulkan sampah-sampah plastik di sungai ini?” ajak Abah Ucup.
“Tapi Bah, mau dibawa ke mana sampah-sampah itu? Percuma saja kalau hanya ditumpuk,” sela Pak Otong.
“Di bakar saja,” usul Pak Samat.
“Jangan dibakar, Pak. Asapnya bisa mengganggu warga lainnya,” cegah Pak Abu.
“Jadi bagaimana?” Pak Samat tampak kecewa. Semua yang ada hanya terdiam.
“Sampah plastik yang sudah terkumpul bisa dijual ke kampung di hilir. Kami bertiga bisa membawanya ke sana,” usul Eza.
“Dijual..., memangnya laku?” Pak Samat penasaran.
“Harganya tidak seberapa, sih. Di sana ada koperasi yang mengolah sampah-sampah plastik menjadi kantong plastik daur ulang,” jelas Aslan.
“Ide yang bagus. Bapak setuju, Nak. Nanti Bapak pinjamkan gerobak di rumah untuk mengangkut sampah-sampah plastik ini,” dukung Pak Abu.
“Sekalian saja seluruh warga kampung kita diwajibkan mengumpulkan sampah plastiknya di rumah. Setiap hari Sabtu kita jual sampah-sampah itu ke kampung hilir,” usul Pak Salim.
“Terus uangnya untuk siapa?” tanya Pak Otong.
“Diserahkan ke kepala kampung saja, untuk menambah uang kas. Bagaimana?” sahut Pak Abu.
“Saya setuju...,” Pak Otong tersipu malu.
Kegiatan menolong pesut yang tersesat disambung memperbaiki keramba Pak Abu, berlanjut dengan gotong royong membersihkan sungai.
Aslan, Isal dan Eza tampak senang karena usul mereka di terima.
“Aku masih ingin melihat pesut itu kembali ke mari,” kata Aslan.
“Tapi bukan karena tersesat akibat sampah, ya, hehehe...” sambung Eza. [ ]

Selasa, 02 Desember 2014

Naskah Ditolak? Harusnya Nulis Lagi, Dong!

Ini salah satu pengalaman menulis saya setahun yang lalu. Sedikit terlambat menceritakannya, tapi semoga bermanfaat buat sahabat yang sedang menulis naskah berupa cerita anak dan ingin mengirimkannya ke media.

Setelah bersemangat menulis cerita anak, saya mengirimnya ke media. Tak tanggung-tanggung, saya mengirimnya ke Kompas. Pada tanggl 13 Agustus 2013, naskah meluncur ke e-mail kompas@kompas.com di cc ke kompas@kompas.co.id. Apabila hendak mengirimkan naskah melalui pos, bisa ditujukan ke alamat berikut; Redaksi Kompas Jl. Palmerah Selatan 26-28, Jakarta 10270

Sejak hari itu, saya selalu memeriksa e-mail, berharap ada pemberitahuan tentang pemuatan naskah saya. Harusnya saya tak hanya menunggu, tapi tetap terus menulis dan menulis. Maklumlah waktu itu saya masih pemula, dan berharap setiap yang saya tulis pasti akan dimuat. Nah, setelah itu barulah saya menulis lagi. Ternyata prinsip itu salah.



E-mail balasan dari Kompas tak kunjung datang. Hingga suatu hari tanggal 19 Desember 2013 sepucuk surat beramplop cokelat yang dikirim melalui Pos sampai juga di tangan saya. Naskah saya ditolak, alias dikembalikan. Meski bahasa yang digunakan dalam surat tersebut sangat halus, tetep aja rasanya ‘jleb’.

Menurut mereka, naskah saya tidak layak dimuat karena bahasa yang saya gunakan terlalu baku/kaku. Sedikit kalimat penghibur pada baris terakhir surat yang mengharapkan saya bersedia menulis lagi untuk Kompas Anak.

Informasi penting ada dibagian bawah surat, berupa;
L A M P I R A N
Kriteria umum untuk artikel Kompas Anak:
  1. Asli, bukan jiplakan/saduran/terjemahan, belum pernah dimuat dalam penerbitan lain, dan hanya ditulis/dikirim khusus untuk Kompas Anak.
  2. Cara penyajian tidak berkepanjangan tapi padat, singkat, mudah ditangkap, gaya bahasan enak dibaca, dan sesuai kaidah ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan.
  3. Panjang naskah maksimal 3 halaman kuarto untuk cerpen atau dongeng dan 4 halaman kuarto untuk rubrik boleh tahu, semua dengan ketikan dua spasi, tulisan diharapkan jelas dan bersih (tanpa coretan).
  4. Sering tulisan yang pantas dimuat terpaksa dikembalikan, karena tidak mungkin lagi memuatnya pada waktu yang tepat berhubung terbatasnya ruangan atau benturan dengan tulisan-tulisan lain.

Apakah saya menulis lagi setelahnya? Tidak. Saya menyimpan naskah itu dan melupakannya. Kalaupun menulis, saya tidak mengirimnya ke Kompas. Saya mulai mengirim tulisan ke penerbit.

Saya pun mulai berburu kelas menulis online melalui facebook. Bertemu teman-teman penulis dalam grup tertutup membuat saya bersemangat dan merasa tidak sendiri. Penulis hebat yang menjadi guru pembimbing memberi pelajaran berharga dan bersedia menilai dan memberi masukan dan perbaikan tulisan saya.

Saya juga belajar dari tulisan teman-teman sekelas. Pemahaman saya bertambah, setelah membaca tulisan mereka, saya jadi kian bersemangat mengerjakan tugas dan menulis sebaik mungkin.

Sebenarnya ada cara lain yang bisa dilakukan, yaitu dengan banyak membaca tulisan-tulisan yang pernah dimuat majalah/koran. Dan langsung praktik menulis cerita serta mengirimkannya ke media.

Setelah beberapa lama, saya terpanggil mengutak-atik naskah lama yang telah dikembalikan tersebut. Dan hasilnya tidak seburuk yang saya bayangkan. Ah, harusnya saya tetap semangat meski naskah ditolak. Nulis lagi atau merombak naskah dan mengirimkannya kembali ke media lain.
Jadi, bila naskah Anda ditolak, harusnya tetap semangat dan nulis lagi, dong! []