Sabtu, 17 Februari 2018

Bahagia Itu Sederhana, Jalani, Nikmati, Syukuri


Judul                   : Jalani, Nikmati, Syukuri
Penulis                : Dwi Suwiknyo
Penerbit              : Noktah (DIVA Press Group)
Tahun terbit        : Cetakan pertama, 2018
ISBN                   : 978-602-50754-5-2
Tebal buku          : 259 halaman



  
Kita memang tidak bisa memilih bagaimana cara kita memulai hidup ini,
tetapi kita masih diberi kesempatan untuk memikirkan bagaimana cara kita menikmati hidup ini, dan bagaimana cara kita menyikapi hasilnya. (Hal. 10) 
         Quote yang menarik di bab prolog ini membuat saya tak sabar igin membaca isinya. 
       
Eye cathing begitulah kesan pertama saat melihat buku ini. Dominan merah dengan judul huruf timbul berwarna kuning, sangat menarik perhatian. Tampilan bagian dalam buku dengan warna biru, hitam, dan abu-abu, didukung dengan jenis font atau huruf berbeda, membuat pembaca tidak bosan. Gambar komik yang segar dan flip chart  ringkasan berbentuk skema yang tersusun rapi memudahkan pembaca memahami pesan penting yang disampaikan.

Sayangnya saya tidak menemukan daftar isi pada buku ini. Entah lupa atau memang sengaja tidak dilampirkan. Sehingga saya kesulitan menemukan halaman sub judul pembahasan dengan cepat dan harus mencari secara manual. Sempat terlintas di benak, apakah ini adalah model penulisan buku gaya baru?

Ada Sekitar 53 sub judul pembahasan dalam buku ini, termasuk prolog pembuka dan epilog penutup. Serunya lagi, saya bisa membacanya secara acak tanpa harus kehilangan benang merahnya. Saya mengawali dengan judul Allah Maha Baik di halaman 250, saya dibuat penasaran untuk menengok judul-judul di halaman sebelum dan sesudahnya. Pesan berbeda yang tersirat sangat kuat dalam setiap sub judul, membuat saya ketagihan untuk membaca buku ini lagi, lagi, dan lagi.

Bercermin dari buku ini seperti melihat kembali beberapa kejadian serupa yang pernah saya alami. Buku ini seolah menjawab kegundahan terhadap permasalahan yang pernah dan sedang saya alami. Sesekali saya mengangguk setuju dengan pemaparan dan solusi yang ditawarkan. Tak berlebihan bila saya lebih suka mengkategorikan buku ini sebagai buku motivasi. Meski dari pihak penerbit telah mengelompokkan buku ini ke dalam genre religion and spirituality.

Buku ini kian istimewa karena pada sub judul Hiduplah Hari Ini (hal. 180) ada puisi berjudul Aku Adalah Waktu karya penulis (Mas Dwi Suwiknyo). Puisi ini sangat istimewa karena belum pernah dimuat media mana pun. Dan untuk pertama kalinya dipublikasikan hanya dalam buku Jalani, Nikmati, Syukuri.

Ulasan pada bab ini menyadarkan kita bagaimana seharusnya kita pandai menikmati apa yang dijalani hari ini dengan penuh syukur. Tanpa harus memusingkan masa lalu yang sudah menjadi kenangan atau merisaukan masa depan.

Masih banyak persoalan lain yang dibahas dalam buku ini. Pembaca digiring untuk belajar menerima (hal. 24), belajar melepaskan (hal. 38), dan belajar bahagia (hal. 50). Saya semakin termotivasi untuk bersyukur apapun keadaannya saat membaca halaman 78, kaya belum tentu enak.

Apakah kita sudah bahagia? Kenali tandanya. Anda akan menemukannya di halaman 51, bab berjudul 7 Tanda Kebahagiaan.  Tujuh tanda tersebut adalah jawaban dari Ibnu Abbas --sahabat sekaligus orang yang gemar melayani Rasulullah-- ketika ditanya perihal kebahagiaan oleh para Tabi’in.

Hidup akan berjalan lancar dan mudah bila sesuai dengan keinginan kita. Nyatanya, orang-orang di sekitar kita tidak memiliki frekuensi yang sama, sehingga mempengaruhi kondisi yang kita hadapi. Rumus 9 Barangkali di halaman 138 adalah rumus sederhana yang efektif digunakan untik mengubah pola pikir negatif menjadi berpikir positif. Rumus ini juga bagian penting dari teknik memaklumi orang lain, sehingga kita bisa berfikir positif kepada orang lain.

Saya betah berlama-lama membaca sub judul ketika salah menjadi sumber tawa (hal. 213). Bab ini tuh, saya banget. Ingatan saya kembali pada kejadian dua tahun yang lalu. Saat itu saya sedang membeli martabak. Setelah megantri cukup lama martabak pesanan saya akhirnya siap. Hal memalukan terjadi saat akan membayar. Dengan bangga saya keluarkan selembar uang lima puluh ribu, kemudian diam menunggu. Bukannya langsung memberi uang kembalian, eh penjual martabak juga ikut menunggu.
“Kembaliannya, Pak?” saya mulai tak sabar.
“Loh, bukannya ini masih kurang 15 ribu lagi?” penjual martabak kalem.
“Dihitung lagi dong, Pak! saya mulai ngotot.
“Bener, Bu. Kurang 15 ribu.”
Orang-orang mulai melihat saya dengan tatapan sinis. Saya balas tatapan mereka dengan pandangan jutek.
“Ibu nggak punya uang lagi, ya? Biar saya saja yang bayarin sisanya,” seorang pemuda yang mengantri menawarkan diri dengan sopan.
Bagai tersengat tawon, saya buru-buru mengeluarkan uang lima puluh ribu yang kedua. “Saya bisa bayar sendiri,” saya pun berlalu meninggalkan rombong martabak pinggir
jalan yang dipadati pembeli.
“Bu... ini uangnya,” penjual martabak menghampiri saya yang sudah bersiap di atas motor.
Waktu itu saya mengira penjual martabak itu menyadari kesalahannya saat menghitung total belanja saya.
“Makanya lain kali dihitung dulu yang bener, Pak!” celetuk saya ketus kemudian menancap gas sepeda motor sekerasnya. Berlalu dengan dongkol.
Sesampainya di rumah, saya terkejut. Loh, kok, uang yang dikembalikan tiga puluh lima ribu. Harusnya kan, tetap lima puluh lima ribu.
Duh, saya kok, masih ngotot aja. Saya ambil kalkulator dan mulai menghitung martabak yang saya beli.

Astagfirullah... ternyata saya yang salah. Kaget luar biasa membuat saya merasa sedih, sesak, dan gundah. Betapa angkuhnya saya, harga diri ini serasa runtuh. Mendadak saya tak ingin keluar rumah, tajut bila bersua dengan pedagang martabak itu. Takut bila berjumpa pemuda yang menawarkan diri mentraktir sisa kekurangan uang. Dan kawatir bila salah seorang di antara para pengantri tersebut melihat saya, kemudian mengolok kebodohan saya.

Untungnya itu hanya ilusi bentuk dari kekawatiran saya saja. Terkadang kita terlalu berlebihan saat mengalami sesuatu. Mungkin saat itu orang-orang di sana menertawakan kelalaian saya dan membela pedagang martabak yang sabar. Tapi setelah itu, mereka akan melupakannya, karena banyak hal penting lainnya yang harus mereka hadapi. Seperti yang dituturkan pada halaman 94, kesengsaraan itu hanya ilusi.
Hidup memang harus terus berlanjut. Tak peduli seberapa menyakitkannya itu. Biarlah nanti waktu yang mengobatinya.

        Betul seperti yang dikatakan penulis pada halaman 215, semua kesalahan pada akhirnya hanya bisa kita istigfari dan butuh keberanian untuk menertawakannya. Penulis memotivasi dengan tulisan yang berbunyi janganlah terlampau bersedih pada kesalahan yang memang tidak kita sengaja (khilaf). Itu bukanlah aib yang menurukan harga diri kita. Sebab, kita tidak berniat untuk melakukan satu kesalahan itu. Saya butuh waktu lama untuk bisa menerima kenyataan dan memaafkan diri sendiri.

Pas banget dengan pembahasan di bab selanjutnya Jangan Gampang Baper (hal.217). saya menemukan kalimat ini, ...Terkadang, kita memang perlu menetawakan kekurangan diri sendiri, dan terbuka dengan segala kemungkinan terburuk... (hal.218).

Dipaparkan dengan bahasa sederhana yang mudah dimengerti, bahkan terkesan santai. Disertai dengan contoh kejadian dan peristiwa yang bisa kita petik hikmahnya membuat buku ini kaya pengalaman sekaligus solusi jitu yang dapat dilakukan agar hidup yang selalu penuh masalah ini tetap bisa dinikmati dengan rasa syukur yang dalam.

Membaca buku ini akan membuat kita lebih waspada untuk tidak mengulangi kesalahan yang pernah dialami orang lain. Karena di dalam buku ini ada solusi dan jawaban langsung untuk setiap permasalahan yang berbeda.

Jangan tunda kebahagiaan, karena bahagia itu sederhana, jalani, nikmati dan syukuri. Bagilah kebahagiaan dengan orang-orang tersayang di sekitar kita. Caranya bisa dengan menghadiahkan buku ini kepada mereka. Biar afdol, Anda harus membaca buku ini terlebih dahulu, ya! Akhirnya, selamat membaca dan bersiaplah bahagia.

Rasa bahagia pun bisa datang dari penerimaan yang tulus. Penerimaan yang tulus atas apa pun yang terjadi dan bagaimanapun kondisi hidup kita. Penerimaan yang tulus apa saja yang sudah kita lewati, dan bersiap menerima apa pun yang akan terjadi pada diri kita (Hal. 255).


Resensi buku ini diikut sertakan dalam Lomba Blog Review Buku Jalani, Nikmati, Syukuri 
karya Mas Dwi Suwiknyo.