Kamis, 29 November 2012

Menyusuri Surga Dunia Para Penyelam


Perjalanan mengesankan yang selalu kukenang dalam hidup adalah saat berkesempatan menjelajah Pulau Sangalaki yang dijuluki sebagai surga dunia bagi para penyelam. Pulau yang termasyur dikalangan penyelam dari mancanegara ini berada dalam Kepulauan Derawan Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur.
Sebuah pulau tak berpenduduk dengan hamparan pasir putih yang tersusun dari material fragmen karang, tampak kontras dengan warna airnya yang biru. Menyuguhkan pemandangan yang menyejukkan, seakan membayar lelah saat menempuh perjalanan panjang.
Pulau dengan luas sekitar 15 hektar ini memiliki morfologi dataran pantai yang datar. Dan merupakan tempat yang sering dikunjungi penyu hijau untuk menitipkan telur-telurnya pada timbunan pasir di sepanjang pantai. Seekor penyu betina mampu bertelur hingga 100 butir dalam sekali bertelur.
Pulau ini sering dikunjungi oleh wisatawan asing yaitu dari negara Filifina, Brunei Darussalam dan wisatawan Amerika yang sebagian besar adalah penyelam. Menurut mereka, Sangalaki adalah surga dunia bagi para penyelam. Karena memiliki taman laut dan beragam biota laut yang mewakili berbagai ragam jenis karang yang ada di dunia.
Ikan Pari atau Manta adalah jenis ikan yang banyak ditemukan di perairan pulau tersebut. Pada saat bulan terang, Manta dapat berkumpul hingga berjumlah 20 ekor untuk mencari makan berupa plankton yang banyak terdapat di perairan ini. Selain itu, pulau tersebut memiliki hutan dengan pepohonan khas tropis dan dihuni oleh satwa burung. Seakan melengkapi replika wilayah tropis yang indah.
Faktor topografi dan terbatasnya travel yang melayani rute perjalanan menuju pulau tersebut membuat tempat wisata tersebut kurang populer di kalangan wisatawan domestik. Apalagi pengelolaannya yang dipegng oleh pihak asing, membuat biaya yang dibutuhkan ke pulau tersebut menjadi kian mahal dan nyaris tak terjangkau.
***
Butuh perjuangan keras agar aku dapat menikmati indahnya Pulau Sangalaki bersama puluhan wisatawan mancanegara yang tengah menghabiskan waktu libur mereka di sana. Aku yang kala itu seorang mahasiswi, berhasil memenangkan audisi sebagai tenaga sukarela untuk membantu sepasang suami-istri berkebangsaan Belanda yang tengah melakukan penelitian tentang Penyu Hijau.
Setelah melewati penyaringan yang cukup ketat oleh sebuah lembaga sosial masyarakat di Samarinda yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan, akhirnya aku terpilih sebagai salah satu kandidat bersama dua orang mahasiswa yang lainnya.
Bermodal ransel besar di bahu bersama dua rekan lainnya, kami melangkah dengan gagahnya memulai perjalanan dengan pesawat DAS yang menghubungkan kota-kabupaten dalam provinsi dari Bandara Temindung Samarinda menuju Kabupaten Berau. Ini adalah perjalanan kesekian kaliku bersama ransel buntut yang tetap gagah bertengger di bahu.
Meski bepergian dengan ransel besar bagai petualang, pakaian yang tersimpan di dalamnya tetap rapi. Aku menggulung pakaian yang sudah disetrika sedemikian rupa sehingga menjadi gulungan kecil. Sebelum memasukkan pakaian, lapisi dahulu ransel dengan kantong plastik besar, hal ini dimaksudkan apabila ransel terkena air pakaian di dalamnya tetap kering.
Aku benar-benar mempersiapkan perjalananku kali ini. Memastikan membawa peralatan tulis, perlengkapan mandi, pakaian secukupnya yang bisa di padu-padankan, perlengkapan mandi, obat-obatan secukupnya, dan album kartu nama serta buku daftar alamat dan nomor telepon teman-teman kampus yang berasal dari kabupaten tersebut. Berharap jika sesuatu terjadi, aku bisa minta bantuan teman-teman di sana.
***
Aku sangat menikmati perjalanan menuju sebuah tempat yang baru bagiku. Semua tiket dan akomodasi telah dipersiapkan sedemikian rupa oleh pihak seponsor, sehingga aku dan dua temanku tak perlu repot. Kami menginap di sebuah motel sederhana, kemudian dijemput untuk berkeliling kota kabupaten sebelum melanjutkan perjalanan esok harinya dengan speedboad.
Perasaan tak nyaman mulai menyergapku kala perjalanan laut akan segera di mulai. Sebuah speedboad atau perahu bermotor dengan kecepatan tinggi membelah laut biru dengan angin dan ombaknya yang membuatku mual, membawa kami menuju pulau impian. Bulir-bulir air mata diam-diam membasahi sudut mataku, saat aku menahan tubuhku yang ikut terhempas ketika speedboad kami melawan ombak.
Ketika mesin parahu mulai terdengar pelan hingga akhirnya mati, aku baru berani membuka mataku. Luar biasa, beningnya air laut yang berwarna biru hingga mampu menembus indahnya karang di dalamnya seakan membayar segala keletihanku dihempas ombak. Pasirnya yang putih berkilau berpadu hijau hutan dibelakangnya dan langit biru cerah adalah pemandangan terindah yang pernah kusaksikan dalam hidupku.
Tak ada dermaga. Speedboad hanya berhenti di pantai dangkal. Tak sabar kuceburkan kakiku untuk merasakan airnya yang dingin dan menapaki butiran pasirnya. Aku mencium aroma laut yang kuat, begitu segar seakan memulihkan staminaku yang rontok.
Dan petualangan pun dimulai. Setelah bertemu dan berkenalan dengan sepasang peneliti penyu, kami pun diperkenalkan pada seluk beluk penyu yang akan kami tangani selama berada di pulau itu. Setelah makan dan merapikan barang bawaan, kami berlima mengelilingi pulau dengan sejuta pesona itu hingga matahari terbenam. Menyaksikan pemandangan indah di pulau kecil yang dikelilingi laut lepas membuatku tak henti-hentinya bersyukur.
Malam tiba, kami hanya mengunakan penerangan secukupnya di kamar akomodasi yang berupa rumah kecil yang dilengkapi dengan kamar mandi dan satu kamar dengan dua tempat tidur yang nyaman. Karena kami hanya diberi satu rumah sedangkan dua rekanku adalah laki-laki, maka kami pun berbagi tempat. Mereka sangat menghormatiku.
Tidak ada lampu teras yang menyala, hanya sinar rembulan berpadu dengan deburan ombak dan dinginnya angin membuat malam kian syahdu. Dan kami tak lantas bisa terlelap pulas. Karena pada malah hari banyak induk penyu mengunjungi pulau untuk bertelur, dan aku sebentar lagi akan menyaksikan pemandangan menakjubkan itu langsung.
Penyu adalah binatang pemalu yang sangat peka terhadap cahaya, oleh sebab itu pengelola pulau sangat membatasi penggunaan lampu. Hal ini dimaksudkan agar penyu-penyu betina dapat dengan leluasa bertelur. Selain itu, cahaya bagi anak penyu atau tukik digunakan sebagai pemandu jalan menuju laut. Tukik yang menetas di malam hari akan menggunakan bantuan cahaya rembulan untuk mengantar mereka ke pantai dan mengarungi laut lepas.
Seringkali tukik-tukik tersebut justru berlari ke arah rumaah akomodasi yang disediakan pengelola karena adanya sinar lampu. Mereka mengira lampu-lampu tersebut adalah cahaya rembulan yang mengantar mereka ke laut.
Malam kian larut, angin dingin dan deru ombak membuat perjalanan kami mengelilingi pulau untuk memantau penyu yang berelur kian mendebarkan. Karena banyak penyu yang hanya mebuat jalan palsu atau tidak jadi bertelur dan kembali ke laut. Hingga kami menemukan seekor penyu yang benar-benar akan bertelur.
Nafasnya terengah menyeret tubuhnya yang besar dan berat. Sesekali ia berhenti, kemudian melanjutkan jalannya menuju sebuah tempat yang lebih tinggi. Kami bersembunyi menyaksikannya, berharap ia tak mengetahui kehadiran kami agar dapat melanjutkan aktifitasnya. Penyu itu berputar sebentar kemudian menggali lubang yang cukup dalam dengan kedua kaki bagian belakang. Kemudian ia meletakkan ekornya diatas lubang itu dan keluarlah butiran telur yang cukup banyak.
Ada banyak lendir diantara telur-telur yang berkulit lunak namun tak mudah koyak. Setelah puluhan telur keluar, kami pun dapat mendekati penyu tersebut dan mengukur cangkangnnya dengan leluasa. Penyu tak akan lari bila sedang bertelur meskipun manusia memegangnya. Ia akan terus melanjutkan aktifitasnya mengeluarkan telur-telur tersebut.
Dari sepasang matanya keluar cairan bening. Apakah ia menangis? Ternyata tidak. Cairan itu berfungsi menetralkan air laut yang mengandung garam untuk melindungi mata sehingga pandangannya tetap terjaga. Setelah mengeluarkan semua telurnya, sang induk penyu menutup lubang yang berisi telur masih dengan kedua kaki bagian belakang. Kemudian pergi meninggalkan pantai, terseok dengan keempat kakinya yang menyerupai sirip dan hilang di kegelapan malam bersama gelombang.
Kami pun memasang tanda pada lubang berisi telur, agar esok hari dapat memindahkannya ke penakaran penyu. Karena telur penyu yang terkena air laut tidak dapat menetas, oleh sebab itu pemindahan ini sangat penting untuk menghidari telur terendam air bila laut pasang. Ketika memindahkannya pun harus sangat hati-hati, karena apabila telur mendapat goncangan keras ia tidak dapat menetas menjadi tukik.
Malam terasa kian mencekam setelah kelompok kami kepergok dua orang lelaki yang menggunakan penutup wajah yang hendak menggali sarang telur penyu yang baru saja kami tandai. Karena jumlah kami yang cukup banyak, mereka pun memilih kabur dengan sebuah ember kosong yang dijinjing salah seorang diantaranya.
Mengertilah aku mengapa sepasang peneliti tersebut memerlukan bantuan tenaga sukarela, rupanya usaha mereka untuk melindungi satwa langka yang umurnya bisa mencapai ratusan tahun itu terkendala oleh masyarakat setempat yang masih memburu telurnya untuk di jual bebas. Telur penyu menjadi oleh-oleh khas dan dianggap sebagai obat kuat.
Sebelumnya, sering kali kedua pasangan suami istri ini mendapat pukulan dan teror dari orang-orang bertopeng itu agar mereka tak betah dan segera meninggalkan pulau dengan sejuta pesona. Sehingga mereka dapat dengan leluasa mengambil telur-telur penyu yang harganya lumayan mahal. Namun kedua peneliti tersebut tetap bertahan dan saling menguatkan, meski lebam kebiruan mewarnai wajah mereka.
Aku bangga sekali bisa menjadi bagian mereka yang peduli dengan lingkungan dan satwa laut ini. Aku bersama kedua rekanku menjadi saksi atas perjuangan mereka mengumpulkan telur-telur penyu, menjaga dan merawatnya hingga menetas menjadi tukik dan melepasnya ke pantai, ditelan ombak dan laut biru.
Tukik-tukik yang hidup dalam samudra biru yang penuh misteri hingga tumbuh menjadi penyu dewasa, dan suatu hari nanti akan kembali lagi ke pantai tempat mereka di tetaskan untuk bertelur.
Perjalanan dan petualangan mulia ini membuatku sadar akan pentingnya pelestarian alam, terutama pada satwa langka sepeti penyu yang menjadi kekayaan negara yang harus dipertahankan. Aku terharu, wisatawan asing yang berasal jauh dari Benua Eropa sana justru memiliki perhatian dan kecintaan penuh terhadap satwa di tanah air tercinta ini. Sebuah pelajaran mahal yang harus kita perhatikan.
***
* Pengalaman pribadi 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar